Ini bukan Soal Gayus
Oleh : Dedi hartono*
Penanganan kasus Gayus sebagai cerminan penegakan hukum
Gayus, siapa yang tidak kenal Gayus?, mantan Pegawai Ditjen Pajak golongan III tersebut sampai hari ini Gayus semakin dikenal banyak masyarakat Indonesia sebagai “ mafia pajak” bahkan Nama Bona Paputungan mendadak sering disebut-sebut di berbagai media. Mantan narapidana ini mencuri perhatian sejak lagu dan video klipnya yang menyanyikan ‘Andai Aku Jadi Gayus’ beredar di dunia maya.
Kasus Gayus naik daun setelah dia menyelewengkan dana pajak sekitar 24,6 miliar lebih tersebut akhirnya terungkap, tetapi aksi Gayus tidak berakhir sampai disitu, malahan ketika dia di dalam tahananpun mafia pajak tersebut masih dengan santai-santainya berplesiran keluar negri layaknya anggota Dewan, dengan semakin berbelit-belitnya kasus Gayus tersebut, bahkan tidak sedikit korban dalam lingkaran mafia, termasuk jenderal polisi, jaksa, tokoh politik, pengusaha, pengemplang pajak dan petinggi negri ini yang terbawa dan tergerus oleh kasus Gayus yang nama lengkapnya Gayus Halomoan Tambunan.
Memang ironis, jika dipikir gampanganya yaitu seorang yang terlibat korupsi dengan bukti-bukti yang sudah jelas akhirnya dipenjara dan masih sempat membuat geger banyak orang, tetapi bukan sampai disana saja kasusnya, yang lebih parah lagi adalah setelah dia dalam penjarapun kasusnya semakin menjadi-jadi, siapa yang menjadi dalang semua ini?
Pemilu 2009 adalah pemilu elit politik pembohong
Apa hubungannya pemilu 2009 dengan Gayus?, sekarang sudah tahun 2011 tetapi kasus Gayuspun juga belum selesai-selesai yang sudah berumur hampir lima bulan setelah dia disidang di Pengadilan Negeri Jakarta Selatan dikarenakan kasus penggelapan dana pajak.
Pada pemilu 2004 sebanyak 34 partai politik yang lolos verifikasi administrasi Pemilihan Umum (Pemilu) dan berkecimpung dalam pesta demokrasi ala Indonesia tersebut, dan hanya ada 3 partai yang unggul dan mayoritas hingga mencapai keputaran finalnya yaitu partai PDI, GOLKAR, DEMOKRAT beserta koalisinya, tetapi dibalik kemenangan SBYdan JK tersebut tersembunyi atau tersimpan jasa besar sang milioner Indonesia yaitu Ical atau Aburizal Bakrie. Walaupun hanya isu dan belum ada sumber yang pasti terkait hutang SBY kepada Aburizal Bakrie sebagai salah seorang penyumbang kemenangan SBY dalam bantuan untuk kampanye SBY tersebut, tetapi masyarakat Indonesia sudah tahu dengan banyaknya berita tentang kedekatan mereka berdua. Hubungan SBY dengan ical sampai sekarang belum juga berakhir, bahkan semakin dekat berkat setgab yang dibentuk untuk koalisi kepentingan dan terpilihnya ical sebagai Koordinator Sekretariat Gabungan Koalisi partai politik pendukung pemerintah, dikarenakn pemimpin negeri ini ternyata tidak sanggup melunasi hutang dari pinjamannya kepada ical akhirnya bukan masalah “Hutang” yang menjadi lebih parah tetapi masalah kebijakan politik yang diambil SBY selama kepemimpinannya juga dipertanyakan karena tidak punya wewenang bersuara lebih keras dibanding sang jutawan negeri ini.
Demokrat vs Golkar dengan kebijakan politik kartelnya
Ajang pemilu 2014 sudah semakin dekat bagi penguasa dan pengusaha yang haus kekuasan di negri ini, tidak genap 3 tahun lagi itu bukanlah waktu yang lama bagi elit politik negri ini, kita tahu bagaimana sepak terjang Golkar dengan icalnya pada piala AFF kemaren yang itu ternyata hanya sebagi ajang kampanye politik untuk menarik simpati para pemuda Indonesia (membangun opini public dengan politik pencitraan), memang tidak terang-terangan atas nama Golkar, tetapi dibelakang ical yang lahir di Jakarta, 15 November 1946 bernama lengkap Aburizal Bakrie tersebut ada seonggok kepentingan Golkar yang harus diperjuangkan.
Dengan kekuatan uangnya akhirnya sampai-sampai dana sebesar Rp 3 miliar untuk Tim Nasional Indonesia dari Ketua Umum Partai Golkar Aburizal Bakrie akan digunakan untuk pembinaan pemain usia muda, belum cukup sampai disana rekam jejak ical, seperti kasus lumpur lapindo sejak tanggal 29 Mei 2006 sampai hari inipun sudah 4 tahun juga belum ada perkembangan yang lebih baik dan kasus pajak ical juga belum selesai-selesai, bahkan ada korban lumpur lapindo sampai hari ini masih banyak yang belum dapat ganti rugi. “publik hanya akan melihat hasil akhir dari upaya Satgas Pemberantasan Mafia Hukum untuk mengkaji kembali SP3 yang dikeluarkan Kapolda Jawa Timur terkait dugaan pidana dalam kasus semburan lumpur Lapindo. “Kita patut meragukan komitmen SBY dalam pemberantasan praktik mafia hukum selama pemerintah tidak mendesak pertanggungjawaban Ical terkait kasus Lapindo yang telah menyedot anggaran hukum dalam jumlah besar. Saya siap menarik kembali pernyataan ini, dan saya bersedia menyampaikan permohonan maaf jika di kemudian hari SBY terbukti mampu menegakkan keadilan dengan menginstruksikan aparat penegak hukum untuk meneruskan penyelidikan terhadap dalang kasus Lapindo,” ujar Ketua Institut Hijau Indonesia, Chalid Muhammad, di Jakarta, Jumat (28/5) sumber primaironline.com.
Sedangkan sudah jelas beberapa kebohongan Lapindo Brantas tentang semburan lumpur lapindo, 1)Dampak terus meluas namun Perpres tidak memfasilitasi, 2)Pembayaran yang tak kunjung usai, 3)Lumpur mengandung kimiawi dan logam berat namun lumpur dinyatakan tidak berbahaya, 4)Lapindo tidak responsif, 5)Luapan lumpur adalah bencana alam, 6)Pelanggaran RT/RW Sidoarjo, 7)Dana talangan APBN padahal Perpres 14/2007 pemerintah yang menanggung, 8)Lumpur aman dibuang ke Kali Porong. Sumber siaran Pers JATAM – WALHI.
SBY dengan pemerintahannya juga tidak bisa bertindak apa-apa selain menambah masalah dengan melibatkan Negara ikut serta dalam pendanaan hingga Rp 2,8 triliun, PT Lapindo Brantas Inc. (LBI) telah mengeruk dana Rp 2,8 triliun dari APBN untuk menangani tragedi luapan lumpur di kawasan Kabupaten Sidoarjo, Jawa Timur tersebut. LBI sendiri mendapat persetujuan Presiden melalui Peraturan Presiden No. 14/2007 tanggal 31 Maret 2007 tentang Badan penanggulangan Lumpur Sidoarjo (BPLS). Badan tersebut membuat LBI lepas tangan atas pembangunan infrastruktur dan masalah sosial yang timbul seputar luapan lumpur tersebut. Sehingga sejak 2006 sampai 2010, negara telah mengeluarkan Rp 2,8 triliun untuk menalangi LBI. Rinciannya, dari APBN 2006 sebesar Rp 6,3 miliar. APBN 2007 Rp 144,8 miliar. Dari APBN 2008 Rp 513,1 miliar. Dari APBN 2009 Rp 592,1 miliar. Sementara dari APBN 2010 sebesar Rp 1.216 miliar dan dari APBN perubahan Rp 205,5 miliar. "Anggaran APBN ini bukan saja untuk memperbaiki infrastruktur publik yang rusak akibat lumpur panas,tetapi juga untuk alokasi anggaran ganti rugi dari pemerintah kepada masyarakat, seharusnya LBI tidak begitu saja lepas tangan atas kasus ini, dan seharusnya pemerintah tidak terlalu lemah digerogoti LBI dalam kasus ini.
Jika kita runut sedikit kasus lapindo antara ical dan SBY lebih kurang seperti ini, yaitu SBY “masih berhutang dengan ical” dan ical sang pengusaha besar tidak mau menghabiskan kekayaanya hanya untuk ganti rugi, maka sudah pasti konsekuensinya adalah menuruti kepentingan ical dengan cara membuat kebijakan yang pro dan membantu masalahnya ical, dari kebijakan SBY untuk mengambil alih masalah ical agar diklaim masalah nasional.
Ical dan Gayus “simbiosis mutualisme” dalam pertarungan kepentingan
Setelah ada berita Gayus yang ikut nonton pertandingan tenis internasional di Bali Senin, 8 November 2010. Dan ada tv swasta yang mengangkat kasus miring tersebut kemedia, kita tahu bahwa secara penguasaan tidak dalam gengaman saham bakrie atau jelasnya tv tersebut adalah milik suatu kelompok usaha media yang dipimpin oleh Surya Paloh, yang jika ditelusuri dari rekam jejaknya adalah barisan sakit hati dari Golkar. Walaupun banyak pihak yang berusaha menyelesaikan kasus mafia pajak tersebut akhirnya juga tidak begitu berkutik dan hanya sebatas gertakan saja, tetapi tidak berani lebih terang-terangan lagi dalam memberantas berbagai permasalahan antara Gayus dan ical ini, karena bnyak pihak yang sebenarnya adalah dalam skema dan konsep yang sama atau terjebak dalam lingkaran setan. Akhirnya hanya berputar-putar disana saja tidak bisa keluar lebih jauh untuk meneyelesaikan masalah tersebut.
Banyak contoh hal yang sudah diketahui oleh public dalam usaha murni untuk membongkar masalah ruwet ini, tetapi tetap aja ada yang menghalang-halangi usaha tersebut, seperti usaha reformasi hukum dalam membongkar kasus-kasus besar tetapi apa yang terjadi? Tetap saja jika tidak punya bekingan yang kuat oleh persatuan gerakan rakyat tanpa politisasi, akhirnya akan kalah dalam permainan besar ini.
Penegakan hukum berakhir barter materi
Terlalu banyak kritik terhadap kinerja penegak hukum di indonesia ini akhirnya malah tidak menyelasaikan dalam penegakan hukum tetapi semakin pintarnya mafia hukum yang berani mencari jalan keluar untuk mendapat keuntungan dibalik masalah-masalah yang dihadapi negri ini.
Dari catatan KPK tahun 2004, pelaku korupsi terbanyak adalah legislatif sebanyak 37%, disusul kemudian pejabat dinas pemda sebanyak 18%, eksekutif 15%, pimpro, parpol, dan kepolisian masing-masing 10%, 3%, dan 2%. Catatan KPK ini tidak berbeda jauh dengan hasil analisis ICW dari Januari-Juni 2006 yang menyebutkan bahwa dana APBD paling banyak dikorupsi mencapai 33,57% kemudian disusul sektor pertanahan dan perumahan sebanyak 12,14% dan pilkada sebanyak 7,14%. Lebih lanjut dalam analisanya ICW menyebutkan bahwa sektor yang paling besar penyimpangannya adalah pemerintah daerah (40,71%) dan DPRD (20,71%). Sedangkan dari pemetaan tingkat administratif, korupsi paling banyak terjadi di daerah kabupaten (34,29%), nasional (25,71%), propinsi (20,71%) dan kota (19,29%)
Kuatnya kelompok kepentingan yang bermain dalam penegakan hokum ini, menjadi hal yang biasa khususnya di daerah-daerah yang kaya. Barter kepentingan antar lembaga menjadi alternatif penyelesaian sengketa hukum. Kompromi politik atau imbalan materi menjadi alat barter kepentingan tersebut. Apalagi itikad penegakan hukum sudah didasari kepentingan untuk melakukan barter kepentingan. Ibaratnya ada penjual ada pembeli. Kalau sudah demikian hukum sudah menjadi alat dan mengabdi pada kepentingan kekuasaan sehingga penanganan kasus korupsi itu tidak jelas ujung pangkalnya.
Dan tidak mengherankan pula jika di kemudian hari, ketika kekuasaan dan materi sebagai komoditas barter dalam penegakan hukum sudah tidak dipegang/dikuasai lagi. Artinya dalam hal ini hukum yang harusnya tegak untuk semua, ternyata tidak berlaku bagi penguasa, karena hukum masih dipakai sebagai alat untuk melanggengkan dan melegitimasi kekuasaan dan ketika kekuasaan berpindah tangan, hukum ikut berpindah pula. Semoga tidak.
Subcribe And Share :